Tuesday, May 29, 2012

,

Mau marah rasanya. Kesal. Kecewa, bertumpuk jadi satu. Rasanya seperti istana pasir yang hampir jadi, lalu runtuh seketika terkena sapuan ombak.

Ha-ha.
Harusnya gue tau dari awal siapa dia.
Harusnya gue percaya intuisi gue.
Harusnya gue melihat sisi lainnya.
Harusnya gue menghadapi dia dengan kritis.
Harusnya gue nggak terlalu muja-muja dia.

Yaudahlah,
yang awalnya pasir pasti akan kembali jadi pasir.
Istana pasirnya sudah terhempas oleh sapuan ombak.
Kalau ada batu karang yang kokoh, yang selalu ada, kenapa harus membangun istana pasir?
Walaupun terkesan indah dipandang, nyatanya jauh lebih rapuh dari batu karang.

Insight-nya,
ambil aja beberapa keuntungan yang didapat dari istana pasir itu.
Contohnya, keindahan seketika, bagaimana cara membuat istana pasir itu, dan insight lainnya yang didapatkan saat membangun istana pasir.
Toh nggak ada yang sia-sia kan?

Allah telah mengatur semuanya.
Membuat gue melihat dan menyaksikan dari dekat bagaimana membangun istana pasir.
Mengajarkan gue hal-hal yang nggak gue tau tentang istana pasir.
Jadi, ambil saja hikmahnya.
InsyaAllah bermanfaat :)
,
"Kangen
Satu kata yang menggambarkan perasaanku saat ini.

Entah mengapa perasaan ini begitu menyiksa.
Sedang terjadi pertentangan dalam egoku. Id yang ingin menyapa dan berbincang dengannya, melawan superego yang melarangku untuk berinteraksi dengannya.
Mengapa harus dilarang? Sebenarnya itu adalah usaha untuk melindungi egoku. Usahaku untuk melupakannya. Usahaku untuk membuatku "menetralkan" perasaanku padanya.
SULIT. Amat sangat sulit.

Tapi aku harus bisa. Karena ia bukan untukku. Ia ditakdirkan untuk bersama yang lain. IA MEMILIH YANG LAIN. Bukan aku.

Seseorang yang membuka mataku untuk mengerti dan memahami banyak hal.
Seseorang yang membuatku semangat untuk terus belajar dan belajar.
Seseorang yang mempengaruhiku untuk melakukan hal-hal baik.
Seseorang yang membuatku tertawa saat ia senang dan termenung saat ia sedih.

Oh, Tuhan.
Haruskah aku melupakannya?
Bila itu memang takdirku, bila Engkau memiliki rencana yang lebih baik, aku ikhlas.
InsyaAllah.

Semoga dia selalu bahagia, kapan pun dan dimanapun ia berada.

Maaf, aku tidak bisa berinteraksi denganmu lagi. Maaf.
Karena kamu memilih yang lain, aku putuskan untuk mundur.
"
,
Entah bagaimana tiba-tiba aku berpikir mungkin sebaiknya kita bertemu pada tahun-tahun jauh sebelum hari ini. Kenapa? Karena begitu sampai di detik ini, aku pun kamu, akan segera tahu akan seperti apa kita setelah melewati rentang waktu sekian lama. Apa kita akan selalu hangat seperti ini, atau justru berubah menjadi dingin dengan alasan-alasan klasik seperti yang selalu kita kemukakan di sela-sela percakapan menjelang malam.

Tapi lantas aku berpikir mengenai waktu yang tepat. Mungkin benar jika segala sesuatu, apa pun itu, hanya akan terjadi ketika kita telah sama-sama siap. Pun dengan pertemuan tempo hari. Bisa saja dulu kita sempat bersinggungan. Dan entah siapa yang belum siap, lalu kita hanya bisa diam sambil tak henti meraba-raba jarak.

Kemudian berikutnya aku akan membayangkan bagaimana pada akhirnya aku bisa menemukanmu. Bahwa kenyataannya aku telah melewati berbagai macam cerita sebelum sampai padamu. Itu semacam menunjukan, jika kamu benar-benar merupakan seseorang yang pantas aku tuju dengan perjalanan serumit itu.

Pun seperti kepalaku yang tak henti memutar alur pertemuan kita. Bahwa kita memutuskan untuk terdampar di salah satu kafe dengan memilih tempat duduk tepat di tengah. Ketika itu, jika kita sama-sama tak lagi bisa berbicara, aku akan mengalihkan pandanganmu pada sesiapa yang melintas di sekeliling kita. Atau mungkin kepada langit yang mulai berubah senja. Kamu akan kuminta bercerita mengenai pendapatmu tentang kejujuranku. Ketika kamu sudah mengetahui semuanya. Lalu tak terasa ada yang menggenang di sudut mata. Bahwa ternyata memang selama ini aku membutuhkan waktu-waktu seperti ini untuk dapat bertemu denganmu.


Mungkin ada saatnya kita cuma diam. Sama-sama memikirkan satu hal yang serupa atau malah jauh berbeda. Mungkin kita memang cukup diam. Karena kata orang, cinta, tak selalu harus ditunjukan lewat bahasa. Cinta adalah rasa. Maka satu-satunya cara menikmati cinta, adalah dengan merasakannya. Sederhana, bukan?

Thursday, May 24, 2012

,
I’m on my high.. high imagination.
Pikiran saya mengambil alih tubuh, jiwa, rasa.
Tidak menggubris resiko kecuali konsekuensi fisik. Sakit.
Ratusan layar dalam otak terus bertambah.
Skenario, adegan, artis, aktor, musik bermain dalam harmoni sempurna.
Detail, hingga benda-benda terkecil.
Natural, seperti yang memang seharusnya terjadi.
Plot-nya bukan satu, bisa dua, tiga.. atau bahkan empat.
Bisa saja sedikit berbelok, tapi tak jauh dari jalur.. muaranya satu.
Tidak berlebihan, tidak terlalu menyedihkan, tidak terlalu bahagia.
Sesekali menyentak, namun tidak sering.
Ini bukan sinetron murahan.
Pemainnya nyata, sutradaranya cerdas, scene-nya sarat rasionalisasi.
Tidak ada ekspresi berlebih, hanya tawa, senyum, murung, sedikit air mata, bingung, malu.
Latarnya tidak itu-itu saja, di banyak tempat, banyak negara.
Tertarik? Saya sangat tertarik.
Tetapi naskahnya belum selesai ditulis, walaupun secara abstrak ending-nya sudah terpikirkan.
… . “Cut! Saatnya break!”
Saya sedikit lelah, berarti  artis, sutradara, dan semuanya juga lelah.
Eh, apa saya belum sebut judulnya..?
Sebenarnya saya tidak menemukan apa-apa di halaman terdepan naskahnya, selain huruf-huruf acak yang nyaris tak terbaca.
“f.y.r.c.p.e.t.m.e.f.i.e.l.e.”
-Home-
,
Saya paling nggak bisa marah sampe teriak-teriak sama orang lain, dan saya sebel sama diri saya yang seperti itu.
Saya memang punya kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu secara langsung, apalagi mengekspresikan rasa marah. Rasanya saya skeptis kata-kata bisa merepresentasikan kemarahan saya, maka saya ambil jalan yang lebih saya sukai yaitu diam. Yang lebih menyebalkan, saya gampang terdistorsi dengan lelucon-lelucon, seolah-olah syaraf tertawa di otak saya terlepas dari syaraf marah. Jadi bisa saja saya tertawa karena lelucon orang yang buat saya marah, marahnya? Tetap.
Terkadang saya iri dengan orang-orang di sekitar saya yang bisa dengan bebas menunjukkan ekspresinya. Marah lantas memaki-maki orang dengan segala kosakata sampah yang dimiliki. Saya pun ingin bisa melampiaskan kemarahan saya dengan cara itu. Tapi sayangnya kosakata saya sangat terbatas, malah saya kadang malu sendiri karena mengucap kata-kata kasar karena orangtua saya tidak pernah mengajari kosakata seperti itu. Ketika saya marah, hal yang otomatis saya lakukan adalah mengevaluasi apa salah saya, alhasil ‘momen’ untuk menunjukkan rasa marah pun sudah keburu lewat.
Sebenarnya saya sudah menemukan cara melampiaskan rasa marah saya. Kalau teman-teman perempuan saya memilih menangis meraung-raung, menyumpah serapah, atau langsung mengadu argumen, saya lebih memilih mencari dinding terdekat untuk dipukul. Seperti yang baru saja saya lakukan tadi. Entah kenapa terasa lebih melegakan, dan anehnya tangan saya yang tidak tergolong besar ini tidak terasa sakit. Too masculine, eh?
Tapi sepertinya saya salah sasaran kali ini, saya barusan memukul pegangan pinggir kasur saya yang terbuat dari kayu.. Cukup buat orang serumah diam, tapi sekarang kayunya goyah.
… . Waduh, kayaknya saya harus beli sandbag a.k.a sansak.
,
Ketika kebahagiaan di urutkan sesuai skala prioritas dari A sampai Z, maka efek ketika kebahagiaan itu tidak terpenuhi juga bisa di-break down dari A sampai Z.
Yaiyalah.
Pernah coba? Iseng membuat list kebahagiaan sesuai skala prioritas? Saya pernah, baru beberapa waktu kemarin. Saya iseng menelaah poin demi poin dari A-Z dan sebaliknya. Sebaliknya, untuk memastikan suatu poin benar adanya di posisi G bukan S atau J.
Lalu saya menemukan fakta logis yang sedikit lucu. Semakin mendekati A, efek deritanya pun semakin besar. Logis kan? Level of importance yang makin tinggi pastinya menyimpan resiko yang makin besar juga, let’s say jika L tidak ada bisa jadi tak ada M,N,O, tapi kalau O tidak ada, L tidak terpengaruh. Logis tapi lucu, karena saya sering melihat orang dengan skala prioritas kebahagiaan yang acak. Meletakkan sesuatu yang seharusnya di Y jadi di D, atau X jadi di E. Akibat terlalu berambisi dan akhirnya -menurut saya- kebahagiaan tersebut menjadi semu.
Hell with other’s. Saya sedang membicarakan skala prioritas saya sendiri, yang saya susun dan nilai dengan hati-hati. Hingga akhirnya saya melihat si C, si B, dan si A. Sungguh, pun saya sendiri kaget mendapati poin-poin yang pantas saya letakkan di A,B,C. Absurd? Mungkin. Logis atau emosional? Seimbang. Saya memasukkan unsur universal yang bisa beririsan dengan semua aspek, baik materiil maupun immateriil. Memurnikan poin tersebut hingga tersisa inti yang membuat saya terhenyak dan tanpa sadar membatin “Ternyata itu, prioritas A saya?” Lantas sedih karena sang prioritas A saya itu sering terlupakan karena tertutupi prioritas-prioritas turunannya, si B-Z. Sepintas saya merasa kebahagiaan B-Z saya selama ini menjadi semu. Ah, don’t be, kebahagiaan bukan untuk disesali.
Mengapa sampai tertutupi? Sederhana saja, ketika saya iseng mem-break down poin kebahagiaan saya dalam bentuk skala prioritas, maka tanpa sadar fokus saya berhenti pada skala terakhir yang saya temui itu sebelum akhirnya saya menemukan poin kebahagiaan di skala selanjutnya. Poin sebelumnya? Tak jarang jadi terlupakan. Sebuah proses linear seperti sebuah batu yang bergulir menjadi bola salju. Semakin jauh ia bergulir, semakin tebal lapisan salju, semakin sulit sang batu untuk disentuh. Sama halnya saat kita berusaha merinci kebahagiaan dengan kepala dingin, dan menemukan bahwa A hingga Z tidaklah cukup. Bahwa kebahagiaan tidak terhitung.
Pada saat itulah saya berhenti. Bukan tidak mensyukuri apa-apa yang belum terinci, saya hanya teringat pada apa yang menjadi inti. Yang membuat saya bisa merasakan kebahagiaan di skala prioritas ke-sekian. Sudahkah benar-benar terpenuhi? Sudahkah ada feedback? Ternyata saya tidak puas dengan sekedar overview, saya mendalami hal ini hingga menemukan poin-poin yang ‘menyangga’ prioritas A saya. Sesuatu yang hakiki, dan sudah selayaknya dilakukan oleh manusia berstatus ‘tercipta’: “Kembali mengingat”.

Wednesday, May 9, 2012

,
Lara have been in like with someone for ages. he always be her muse that motivated her until one gloomy day come. The day that should be her best day ever. She let Dewa come to her life for a long time and suddenly let him go in a blink of eye.
One day (that will never be forgotten), Dewa, her only man in every dream she creates, appears (as cool as she ever imagine) and confess. Sentences that will never ever fade a bit in her coming memories. The man of her dream come and be a real prince until he say that he love her back for quiet some times. It's not as long as her feeling towards him, but it's never been in her wishlist to obtain. He just as perfect as she ever imagine, until the statement he conveys end in a hard way she never expected. 'So, shall we be in a real relationship? Would you be my girlfriend?'
Like a million thunder came in a sunny day, it's surprising and heartaching.. Why should he asked me just to be her girlfriend, when I expect more than that. No, he's not as serious as I am holding these feeling for years. He's not getting the point that the real relationship is only when we're both in a marriage life.
'I will let you go no matter how I want you to come and confess that you love me back somehow. I will let you go and let you disappear. Coz I want you in a more serious way than just become boy and girlfriend that can be broken easily. I want you more than just you want love, I want you as part of my future that will never vanish. I want you in every story I'll make, I want you longer than this heart tapping.'

***

So, that's how it ends. The dream that somehow stuck in the middle of unexpected consciousness. We don't know what will come next, Dewa could be away forever or otherwise he'll finally meet what she want him to realize.

Expectation does hurts.

And destiny always has a way of getting what it wants. It doesn't matter how much you plan on not letting it happen(#ihatequote). Expectation does hurts, and the price we have to pay to meet our expectation (most of the times) higher than we've prepared. But make it worth the wait.
Do not expect anything unless you're sure that you're able reach the utmost pain to deserve it. There's always the consequences to be considered in expecting things. And you better have a secret plan if only your way aiming the goal is having a dead end.
It hurts, but you'll live and we'll survive another battle. We're asked to try and expect although we can't foresee how it will ends. Especially for (that so called) love. Time will heal, that's true. We expect, we disappointed, and we survive. Stop setting another expectation is not an option, it might probably not have a good end but it's what makes a life worth living. Endless expectation.

Expectation does hurts, but don't stop to expect endlessly. Our job just to try another trial, the result has been taking care before we decide to be trapped in expectation. We lived, we learned, we grew and we moved on...