Sunday, July 6, 2014

Memaknai Sebuah Kekosongan.

Judul ini diambil atas inspirasi saya membaca sebuah blog kak Perempuan Sore.



Malam itu. Aku nggak tau apa yang sedang aku pikirkan. Yang kutau, hanya kekosongan yang selalu menemani hari-hariku. Hari-hariku tak pernah berjalan dengan mulus. Selalu ada kerikil kecil yang menjadi penghambatnya. Selalu ada kesialan yang berujung  kosong yang kudapat sesampainya di rumah. Aku merasa menjadi manusia yang paling hampa di muka bumi. Ketika kamu berada di suatu keramaian, tapi justru kamu merasa kamu itu sendiri. Itulah kekosongan yang sesungguhnya. Tidak. Aku tidak ingin membahas kekosongan hati kali ini. Aku hanya ingin memberi tahu dunia, kalau aku sudah selesai. Aku lelah berjuang. Aku lelah bersikap acuh selama ini. Aku lelah menjadi orang yang berpura-pura tidak tahu bahwa mereka menertawakanku. Membenciku. Bersikap manis di depanku, tapi pada nyatanya mereka sama saja dengan yang lain. Mereka yang kupikir bisa kuajak bercerita. Mereka yang kupikir sedari dulu adalah temanku, hanyalah seorang yang memiliki banyak wajah. Mereka yang kuyakini, selalu ada dan akan selalu menemaniku, hanyalah sebatas angin yang berembus ketika malam. Hanya segelitik orang yang bisa kupercayai di dunia ini, namun akhirnya kepercayaan itu runtuh berkeping-keping. Fondasi yang selama ini kupertahankan, ternyata mereka sendiri lah yang menghancurkannya.

Malam itu. Aku sendirian di suatu tempat, yang bahkan tak kukenali. Aku selalu berharap, bisa bertemu dengan seseorang di masa lalu. Siapapun itu. Seperti ada yang kurindukan kehadirannya, Seperti ada yang kurindukan celoteh dan pelukannya. Seperti ada yang kurindukan hangatnya genggaman tangan. Seperti ada yang kurindukan embusan nafasnya yang berseteru setiap kali membuka pembicaraan. Iya, aku rindu seseorang itu. Aku bahkan tak menyadarinya, sejak kapan aku merindukan hal ini. Sejak kapan aku menjadi makhluk yang paling lemah di hadapan yang  bernama 'kosong'.

Siang itu. Berada di cafe yang menjadi tempat favorit pasti adalah sesuatu yang menyenangkan. Sepertiku yang memfavoritkanmu. Saat itu, aku sendirian. Hanya memesan Cappucino hangat, favoritku. Dengan laptop yang berada di hadapanku. Aku menjadi seseorang yang skeptis. Seperti mempunyai dunianya sendiri. Ya, aku membangun duniaku sendiri dalam pandangan layar ukuran 12 inch ini. Seperti yang kulakukan saat ini. Memutar lagu yang sama berulang kali--Always be My Baby. Lagu favoritku. Tak ada yang tahu, kekuatan apa yang dikeluarkan lagu ini hingga mampu membuatku menangis. Aku hanya sedikit mendalami liriknya, "We were as one babe. For a moment in time. And it seemed everlasting. That you would always be mine." hah. Terdengar sedikit egois memang. Tapi seperti itulah kosong yang terus mengikuti ke manapun aku pergi. I'm his.

Siang itu. Duduk di beranda kampus yang terletak di lantai 2 mampu menenangkan hati. Selain ada kenangan yang tercipta di sana. Aku memang menyukai tempat itu. Sebuah beranda yang ada 4 meja bundar, dengan beberapa kursi memanjang. Dan tentu, WiFi dan colokan yang selalu kutanyakan keberadaannya. Haha ya, aku memang tak pernah bisa lepas dari 2 hal tersebut. See? Sekuat apapun aku berusaha membuat kesibukkan, selalu saja 'kosong' menghampiriku. Menemaniku dengan semangatnya. Menemaniku dengan tatapan iba. Aku benci tatapan itu. Aku merasa sangat lemah dan kecil ditatap seperti itu. Tak ada yang bisa menghindar dari dia bukan?

Pagi itu. Aku selalu terbangun dengan terburu-buru. Ya, aku habis begadang lagi semalaman. Begadang untuk apa? Apa lagi kalau bukan untuk menjadi paling skeptis di dunia? "I ain't gonna cry no. And I won't beg you to stay. If you're determined to leave. I will not stand in your way." Seperti yang selalu aku lakukan, bila seseorang pergi meninggalkanku. Aku takkan pernah menghalangi mereka. Mereka pasti akan tahu, ke mana mereka akan pulang. Arah mana yang seharusnya mereka ambil. Dan lagi-lagi, hanya 'kosong' yang memilih tinggal di sisiku. Dia tak pernah alfa dari kehadiran. Kalau dipresentasekan, mungkin ia akan menginjak peringkat teratas dengan jumlah kehadiran yang melampaui batas.

Pagi itu. Sesaat aku bercermin. Melihat pantulanku di sana. Melihat betapa bodoh dan kesepiannya makhluk yang satu itu. Memandangi diri selama berjam-jam takkan mampu mengusir rasa 'kosong' yang ada di sisi, Ni. Sadarlah.. Dialah yang sesungguhnya temanmu yang sebenarnya. Dialah yang selalu menemanimu. Tegakah kau mengusirnya, Ni? Logikaku selalu beranggapan aku adalah orang jahat sedunia bila sampai mengusirnya. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa diam. Membiarkan dia menjadi temanku. Membiarkan dia hidup dalam jiwaku. Membiarkan dia merasuki tubuhku. Membiarkan dia meluruh dalam ragaku. Aku bisa apa?






....itulah caraku memaknai sebuah kekosongan.

No comments:

Post a Comment