Kepada kamu,
Yang enggan kusebut namanya.
Yang membuatku ragu menyebutmu sayang.
Katanya, kalau cinta, kalau sayang, tidak butuh alasan. Buatku itu
benar. Aku tidak punya alasan yang bisa ku jelaskan kepadamu mengapa aku
memilih kamu. Kenapa aku memutuskan untuk menitipkan sebagian dari diri
aku kepadamu.
Seharusnya, kamu dan aku itu jadi kita. Seharusnya, kamu dan aku itu
saling melengkapi. Seharusnya, kamu dan aku itu saling menyempurnakan.
Seharusnya, kamu dan aku itu satu.
Lantas, mengapa kamu dan aku jadi kita kemudian hilang?
Aku sudah kehabisan sabar. Persediaan rasaku menipis. Tanganku sudah melepaskan pegangan.
Sekarang aku berjalan sendiri. Entah sudah sejak kapan aku seperti ini.
Mungkin sudah lama. Karena aku sudah lupa rasanya tertawa lepas. Sudah
tidak ingat lagi seperti apa rasanya ketika mengingatmu sejenak kemudian
tetiba tersenyum. Sepertinya aku sudah lama berpisah dengan bahagia.
Sekarang. Aku merasa kosong. Matahariku sudah terbenam. Lari membawa harapku.
Saat menuliskan surat ini aku tengah meringkuk dalam selimutku. Berkubang dalam pilu, bersembunyi dalam sendu.
Pagi ini dingin, terlampau dingin. Bahkan kakiku saja menggigil
kedinginan di balik kaos kaki. Sama dinginnya seperti hati kamu. Hati
kamu itu diselimuti lapisan es yang terlalu tebal. Membuatnya sulit
berfungsi normal. Makin lama semakin beku. Sampai kamu kesulitan untuk
merasa. Hingga kamu lupa caranya mencintai.
Tolong beritahu aku saat hatimu sudah mulai menghangat dan lapisan es-nya mencair.
Itupun kalau kamu bisa temukan aku.
Selamat tinggal.
Wednesday, February 8, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment