...
Juni 2011, sebuah senja perempuan
perempuan itu
menutup percakapan telepon genggamnya. lalu menaruhnya begitu saja di
meja. meski dari bibirnya masih terlihat berbisik mengeja satu kalimat,
'aku mencintaimu', pula terdengar perlahan.
baru saja lelakinya kembali mengingkari janji. mestinya dia datang, seperti rencana yang mereka buat beberapa bulan lalu.
si perempuan terdiam. termenung lalu membuka nyala notebooknya. dia
mulai menarikan jemarinya, menumpahkan segala perasaan yang dimilikinya
sekarang.
aku mencintamu, serupa ilalang mencinta angin.
tabah menjulang, walau ditinggalkan berulang-ulang,*
barangkali belum lupa si perempuan, bahwa ini kali yang kesekian si
lelaki kembali mengingkari janji. benaknya mulai mengingat-ingat berapa
banyak kalimat yang akhirnya hanya tinggal kalimat, meski awalnya lahir
lewat sepakat. jemarinya kembali menari. melukiskan apa yang sedang dia
rasakan.
aku mencintamu, serupa jingga pada singkat senja.
erat memeluk diam, ikhlas menyerah pada kelam malam.*
sekarang
matanya mulai berkaca. ada bulir hangat yang luruh dari sudut matanya.
dia kembali teringat, bahwa mereka pernah begitu dekat. bahagia yang
hangat. meski harus dengan cara sembunyi-sembunyi, semua itu mereka
dapat.
bulir meluruh tak lagi menetes satu dua. pipi si perempuan terasa menghangat. jemari perempuan, kembali menari perlahan.
aku mencintamu, seperti pungguk pada purnama yang kerap abai.
di dadanya- kasmaran tak kunjung usai.*
berulang
kali terjanji, berulang kali pula teringkari. si perempuan serupa
petunia ungu yang dia tanam di muka beranda. penuh setia pada tunggu.
aku mencintamu, serupa dua tetes air mata.
ada. jatuh beriringan, walau tak saling menabahkan.*
kini dia terisak tergugu.
aku mencintamu, dengan kepasrahan embun kepada matahari.
memberi -walau harus melenyapkan diri.
aku mencintamu, seperti burung hutan.
sejauh apapun terbang, selalu kau tempatku pulang.
'aku mencintamu -seperti aku mencintamu'
bagaimanapun caraku menujumu, kaulah ujung perjalananku.*
***
Juni 2012, sebuah senja perempuan.
ada perasaan
gembira yang dialami si lelaki meski sukar dilukiskan ketika didapatinya
sebuah garis lengkung pada bibir perempuan yang duduk tepat di
hadapannya sekarang. sebuah senyum.
serupa hujan yang menghapus kering kemarau, begitulah si lelaki
sedang rasakan. basah yang menyapu debu gelisah. ia sepatutnya
bergembira sebab beberapa bulan kemarin raut muka perempuannya diliput
kesedihan. sedih yang kehilangan.
'terima kasih untuk tetap berada di dekatku', si perempuan berbicara.
'sama-sama. sudah tugasku kembali membuatmu tertawa', ujar si lelaki.
kemudian mereka berpelukan. erat seperti enggan terpisahkan.
'jangan pernah menangis lagi', kata si lelaki.
si perempuan tidak menjawab. tapi segaris lengkung kembali mengembang di bibirnya.
'aku tidak tahu apakah aku bisa sekuat itu bila ditinggal kekasih
tercinta. maka dari itu, jangan pernah tinggalkan aku', kata si lelaki
kepada si perempuan, namun tanpa suara.
si lelaki membalasnya dengan tatapan lembut, sesungging senyum yang
pancarkan kebahagiaan. dia tidak bersuara, meski jauh di dalam hatinya
ia ingin teriakkan kata yang sama. tentang perasaan cinta. direngkuhnya
pinggang si perempuan, dipeluknya hingga jemarinya sendiri bertautan.
mereka erat berpelukan tetapi saling diam.
ada tanya tersisa di benak si lelaki, 'bila aku yang pergi adakah
akan engkau tangisi?'. pertanyaan yang tidak mungkin terjawab, sebab
tersimpan rapat-rapat.
Wednesday, June 20, 2012
Satu Tanya Tersisa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment