Ketika kebahagiaan di urutkan sesuai skala prioritas dari A sampai Z, maka efek ketika kebahagiaan itu tidak terpenuhi juga bisa di-break down dari A sampai Z.
Yaiyalah.
Pernah coba? Iseng membuat list kebahagiaan sesuai skala prioritas? Saya pernah, baru beberapa waktu kemarin. Saya iseng menelaah poin demi poin dari A-Z dan sebaliknya. Sebaliknya, untuk memastikan suatu poin benar adanya di posisi G bukan S atau J.
Lalu saya menemukan fakta logis yang sedikit lucu. Semakin mendekati A, efek deritanya pun semakin besar. Logis kan? Level of importance yang makin tinggi pastinya menyimpan resiko yang makin besar juga, let’s say jika L tidak ada bisa jadi tak ada M,N,O, tapi kalau O tidak ada, L tidak terpengaruh. Logis tapi lucu, karena saya sering melihat orang dengan skala prioritas kebahagiaan yang acak. Meletakkan sesuatu yang seharusnya di Y jadi di D, atau X jadi di E. Akibat terlalu berambisi dan akhirnya -menurut saya- kebahagiaan tersebut menjadi semu.
Hell with other’s. Saya sedang membicarakan skala prioritas saya sendiri, yang saya susun dan nilai dengan hati-hati. Hingga akhirnya saya melihat si C, si B, dan si A. Sungguh, pun saya sendiri kaget mendapati poin-poin yang pantas saya letakkan di A,B,C. Absurd? Mungkin. Logis atau emosional? Seimbang. Saya memasukkan unsur universal yang bisa beririsan dengan semua aspek, baik materiil maupun immateriil. Memurnikan poin tersebut hingga tersisa inti yang membuat saya terhenyak dan tanpa sadar membatin “Ternyata itu, prioritas A saya?” Lantas sedih karena sang prioritas A saya itu sering terlupakan karena tertutupi prioritas-prioritas turunannya, si B-Z. Sepintas saya merasa kebahagiaan B-Z saya selama ini menjadi semu. Ah, don’t be, kebahagiaan bukan untuk disesali.
Mengapa sampai tertutupi? Sederhana saja, ketika saya iseng mem-break down poin kebahagiaan saya dalam bentuk skala prioritas, maka tanpa sadar fokus saya berhenti pada skala terakhir yang saya temui itu sebelum akhirnya saya menemukan poin kebahagiaan di skala selanjutnya. Poin sebelumnya? Tak jarang jadi terlupakan. Sebuah proses linear seperti sebuah batu yang bergulir menjadi bola salju. Semakin jauh ia bergulir, semakin tebal lapisan salju, semakin sulit sang batu untuk disentuh. Sama halnya saat kita berusaha merinci kebahagiaan dengan kepala dingin, dan menemukan bahwa A hingga Z tidaklah cukup. Bahwa kebahagiaan tidak terhitung.
Pada saat itulah saya berhenti. Bukan tidak mensyukuri apa-apa yang belum terinci, saya hanya teringat pada apa yang menjadi inti. Yang membuat saya bisa merasakan kebahagiaan di skala prioritas ke-sekian. Sudahkah benar-benar terpenuhi? Sudahkah ada feedback? Ternyata saya tidak puas dengan sekedar overview, saya mendalami hal ini hingga menemukan poin-poin yang ‘menyangga’ prioritas A saya. Sesuatu yang hakiki, dan sudah selayaknya dilakukan oleh manusia berstatus ‘tercipta’: “Kembali mengingat”.
No comments:
Post a Comment