Saturday, July 7, 2012

Hatiku Selembar Daun.

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
(Hatiku selembar daun - Sapardi)

Tadi malam dengan diam-diam aku sengaja menitipkan rindu. Sengaja kutitipkan pada embun yang menempeli jendela kaca sedari pagi. Kubayangkan, ketika lesatan cahaya matahari perlahan muncul, di timur itu, biasnya akan membuat rinduku menjadi bulir-bulir berwarna keemasan. Lalu entah kenapa angin tiba-tiba berbaik hati. Meniupkan buliran sisa embun agar sampai tepat di sampingmu, yang kubayangkan masih terlelap, dan merasai jika ada jemari-jemari, membelai kelopak mata yang masih saja terpejam. Bulir dingin, yang di dalamnya berisi rindu itu, seketika akan mengecup lembut keningmu. Mengais sisa-sisa mimpi yang di dalamnya, aku yakin kita tentu pernah berjumpa.

Aku tak tahu apa yang ada dalam benak Sapardi ketika ia menciptakan puisi tersebut. Mungkin dirinya tengah berada pada suatu taman dengan pandang yang tak lepas dari pohon di sebelah selatan. Ia merebahkan diri, hingga lalu dirinya dijatuhi selembar daun yang mengecup mesra kening yang pucat kedinginan. Dalam bayanganku, daun itu masih menyimpan sisa embun–yang jika tengah beruntung–kau pun bisa merasai aroma kehangatan yang sengaja disembunyikannya.

Seperti itulah, mungkin, kini hatiku. Bagai selembar daun–yang entah sengaja atau tidak–lantas menjatuhkan diri sedemikian rela. Sesungguhnya kau tak mempunyai pilihan kecuali membiarkan ia jatuh. Daun itu, pun seperti hati, sebenarnya tak pernah memilih kemana ia hendak dijatuhkan. Hingga tiba saatnya ia harus melayang, menuju sesuatu—atau seseorang—yang tak pernah diketahuinya siapa. Ia cuma harus tahu—entah daun atau hati itu—ketika ia jatuh, tentu dirinya tak mempunyai lagi kesempatan untuk kembali seperti semula.

Maka biarkan saja daun itu jatuh. Sejenak saja biar ia terbaring bersama dedaunan yang telah kering. Bukan, bukan untuk menyatu dan menghidupkan tanah, lalu abadi di dalam sana. Tapi untuk kemudian terbang, meninggalkanmu, yang telah leluasa ia pandangi lama. Ia nikmati lama.

Pun mungkin benar, tak ada yang lebih abadi dari sesaat yang sempat direkam ingatan. Sesaat itu kemudian akan menjadi kenang yang susah hilang. Sesaat, meski cuma beberapa detak, tapi kau pun tahu, kenangan akan mampu membuat ia selamanya kekal. Menjadi puing yang berharga di kemudian jeda.

Aku tak pernah takut pada sesaat. Pada pertemuan kita yang mungkin harus berakhir lebih cepat. Karena kau tahu, jika dirimu adalah hujan. Maka bening dan dinginnya telah kuserap dalam-dalam. Menyatu hingga meresapi setiap pori-pori dengan kesunyian. Satu yang kelak akan kita cari tahu, kenapa hujan, selalu identik dengan kepedihan.

Kau pun tak perlu terlalu sering memikirkan waktu yang berjalan lambat. Dimana kataku, pertemuan kita seharusnya berlangsung lebih cepat. Tak ada yang terlambat, tak ada yang datang terlampau cepat. Kau tahu itu, cinta, sama halnya seperti daun yang pernah kuceritakan tadi, hanya akan jatuh pada waktu yang tepat. Tidak pernah sedikitpun terlambat.

“Seharusnya kita tak bertemu di separuh perjalanan. Kini dukamu telah penuh di persimpangan. Aku tak lagi mungkin menyembuhkan,” ujarku sembari menatap dedauan yang berjatuhan disepanjang jalan.

No comments:

Post a Comment