hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
(Hatiku selembar daun - Sapardi)
Tadi malam dengan diam-diam aku sengaja menitipkan rindu. Sengaja
kutitipkan pada embun yang menempeli jendela kaca sedari pagi.
Kubayangkan, ketika lesatan cahaya matahari perlahan muncul, di timur
itu, biasnya akan membuat rinduku menjadi bulir-bulir berwarna keemasan.
Lalu entah kenapa angin tiba-tiba berbaik hati. Meniupkan buliran sisa
embun agar sampai tepat di sampingmu, yang kubayangkan masih terlelap,
dan merasai jika ada jemari-jemari, membelai kelopak mata yang masih
saja terpejam. Bulir dingin, yang di dalamnya berisi rindu itu, seketika
akan mengecup lembut keningmu. Mengais sisa-sisa mimpi yang di
dalamnya, aku yakin kita tentu pernah berjumpa.
Aku tak tahu apa yang ada dalam benak Sapardi ketika ia menciptakan
puisi tersebut. Mungkin dirinya tengah berada pada suatu taman dengan
pandang yang tak lepas dari pohon di sebelah selatan. Ia merebahkan
diri, hingga lalu dirinya dijatuhi selembar daun yang mengecup mesra
kening yang pucat kedinginan. Dalam bayanganku, daun itu masih menyimpan
sisa embun–yang jika tengah beruntung–kau pun bisa merasai aroma
kehangatan yang sengaja disembunyikannya.
Seperti itulah, mungkin, kini hatiku. Bagai selembar daun–yang entah
sengaja atau tidak–lantas menjatuhkan diri sedemikian rela. Sesungguhnya
kau tak mempunyai pilihan kecuali membiarkan ia jatuh. Daun itu, pun
seperti hati, sebenarnya tak pernah memilih kemana ia hendak dijatuhkan.
Hingga tiba saatnya ia harus melayang, menuju sesuatu—atau
seseorang—yang tak pernah diketahuinya siapa. Ia cuma harus tahu—entah
daun atau hati itu—ketika ia jatuh, tentu dirinya tak mempunyai lagi
kesempatan untuk kembali seperti semula.
Maka biarkan saja daun itu jatuh. Sejenak saja biar ia terbaring
bersama dedaunan yang telah kering. Bukan, bukan untuk menyatu dan
menghidupkan tanah, lalu abadi di dalam sana. Tapi untuk kemudian
terbang, meninggalkanmu, yang telah leluasa ia pandangi lama. Ia nikmati
lama.
Pun mungkin benar, tak ada yang lebih abadi dari sesaat yang sempat
direkam ingatan. Sesaat itu kemudian akan menjadi kenang yang susah
hilang. Sesaat, meski cuma beberapa detak, tapi kau pun tahu, kenangan
akan mampu membuat ia selamanya kekal. Menjadi puing yang berharga di
kemudian jeda.
Aku tak pernah takut pada sesaat. Pada pertemuan kita yang mungkin
harus berakhir lebih cepat. Karena kau tahu, jika dirimu adalah hujan.
Maka bening dan dinginnya telah kuserap dalam-dalam. Menyatu hingga
meresapi setiap pori-pori dengan kesunyian. Satu yang kelak akan kita
cari tahu, kenapa hujan, selalu identik dengan kepedihan.
Kau pun tak perlu terlalu sering memikirkan waktu yang berjalan lambat.
Dimana kataku, pertemuan kita seharusnya berlangsung lebih cepat. Tak
ada yang terlambat, tak ada yang datang terlampau cepat. Kau tahu itu,
cinta, sama halnya seperti daun yang pernah kuceritakan tadi, hanya akan
jatuh pada waktu yang tepat. Tidak pernah sedikitpun terlambat.
“Seharusnya kita tak bertemu di separuh perjalanan. Kini
dukamu telah penuh di persimpangan. Aku tak lagi mungkin menyembuhkan,”
ujarku sembari menatap dedauan yang berjatuhan disepanjang jalan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment